Dari Manakah Angka Sakti 2/3 dari MCE ke DBE ?

Posted on Updated on

——————————————————————————-
Buah apa yang paling cocok untuk para jomblo ?
………
………
………

BUAHhahahahaha
——————————————————————————-

Okay, abaikan intermezzo di awal, karena percayalah gak ada hubungannya dengan judul artikel ini.

Baik pada artikel ini saya akan membuat pertanyaan yang nantinya akan saya jawab sendiri, saya tidak tahu apakah rekan – rekan sekalian pernah punya pertanyaan ini atau tidak, namun tetap saya akan bahas juga di sini.

Artikel ini akan membahas mengenai asal – muasal angka sakti 2/3 yang biasa rekan – rekan sekalian pakai di SNI Gempa untuk konversi SMs dan SM1 ke Sds dan Sd1, atau penjelasannya dari percepatan gempa MCE ke DBE yang korelasinya langsung ke base shear.

Dari manakah angka sakti 2/3 tersebut ?

Penulis coba jelaskan dengan contoh kasus biar lebih mudah, jadi begini ceritanya (sambil memandang tajam ke arah kamera dan pelan – pelan di zoom):

Alkisah ada pria muda berbakat bernama Parjo. Si Parjo baru saja lulus di perguruan paling bergengsi sejagat buat dapat gelar Master Teknik Sipil di Universitas Berkeley Negara Paman Trump. Parjo pulanglah ke Indonesia karena kabarnya kangen sama Monas Jakarta dan ingin segera mencari gadis idaman orang Indonesia (jadi di sini perlu saya jelaskan kalau parjo itu jomblo, biar terkait sama intermezzo awal artikel ini).

Setelah beberapa bulan Parjo apply pekerjaan sana – sini di StarUp bergengsi namun tidak ada panggilan, karena oh karena musim Covid-19, akhirnya Parjo pasrah dan akhirnya memilih kerja di Konsultan Struktur dengan gaji seadanya, yang cuma cukup buat cicil DP rumah di Cibinong Negara Bogor.

Karena Parjo punya gelar bergengsi, bos Parjo kasih proyek keren dan kece yaitu Parjo diminta desain struktur bangunan 120 lantai di daerah Meikarta. Parjo diberikan gambar struktur skematik, gambar arsitek, dan laporan geoteknik yang isinya adalah detail rekomendasi ground motion yang digunakan untuk gempa MCE level.

Si Parjo yang pada hakikatnya malas namun pinternya bukan main, langsung meng-aplikasikan jurus yang ia pelajari di dunia persilatan teknik sipil negeri paman Trump, yang namanya Performance Based Seismic Design (PBSD). Tentu dia cukup Pede dari modal gambar – gambar, laporan geoteknik, dan software ETABS ultimate bajakan.

Ketika baru mau modelin strukturnya di ETABS bajakan tersebut, si Parjo baru sadar kalau dia butuh ukuran semua elemen struktur dan input detail tulangannya, agar bisa analisis Performance Based Design. Pahamlah dia bahwa langkah pertama yang harus dia lakukan adalah analisa elastik respon spektrum terlebih dahulu, lalu dapatlah konfirmasi ukuran elemen struktur dan dapat juga kebutuhan tulangan. Baru setelah itu dia bisa analisa jurus Nonlinear Performance Based Design.

Saat trial awal si Parjo desain elastik respon spektrum, dia tanpa sadar pakai base shear dengan MCE level, setelah dia konfirmasi dengan analisa Performance Based Desain pakai metode canggih FEMA 695 buat dapat probabilitas collapse, didapat hasilnya bangunan dia memiliki probabilitas collapse yang sangat rendah untuk target Life Safety di MCE level, yang artinya struktur bangunannya cukup Boros. Di sinilah dia sadar bahwa saat analisis elastik respon spektrum, seharusnya nilai base shear yang dia gunakan untuk desain bisa di scale-down.

Kenapa hasil analisis elastik bisa sangat konservatif saat di cek oleh MCE Level dengan analisa nonlinear ?, Parto berfikir pasti minimal 2 alasan ini adalah jawabannya :

  1. Analisa elastik dengan code menggunakan material minimum strength, sementara analisa PBD saat MCE Level berdasarkan material expected strength. Bahasa kerennya adalah karena efek overstrength factor.
  2. Nilai damping dari analisa linear cuma 5%, sementara analisa dari nonlinear adalah 2.5% + histeretic loop yang totalnya bisa jauh lebih besar.

Si Parjo melakukan trial dan error, analisa elastik respon spektrum dengan faktor reduksi =
0.90
0.80
0.70
dan 0.60

Lalu di konfirmasi dengan Performance Based Desain dan FEMA 695 untuk tiap faktor – faktor tersebut sampai didapatkan probabilitas collapse Life Safety di MCE Level. Dia akhirnya dapat nilai faktor 0.66 (atau 2/3) untuk elastik respon spektrum base shear, agar satisfied performance level tersebut. Parjo merasa bangga dengan hasil study kecil – kecilannya, dan nilai 2/3 ini akhirnya dia pegang erat – erat.

10 tahun kemudian saat si Parjo sudah menjadi insinyur kece dan terkenal, dia dapat proyek lagi yaitu mendesain struktur bangunan 150 lantai di daerah Cibinong Negeri Bogor deket rumahnya dulu saat ia masih kismin.

Dia teringat dengan metode desainnya dulu saat dia masih muda dan berbakat, dan dipakai-nya lagi metode ini. Usut – punya usut dia mendapatkan bahwa faktor reduksi untuk elastik respon spektrum base shear ternyata 0.55 pada kasus bangunan barunya ini, yang artinya lebih rendah dari nilai yang didapat sebelumnya. Pahamlah si Parjo kalau hakekatnya nilai ini unik.

Berakhirlah kisah Parjo di sini.

Nah rekan – rekan semua, sudah pahamkah soal faktor sakti 2/3 untuk MCE base shear ke DBE base shear tersebut ?. Iya benar, pada hakekatnya nilai ini harusnya unik untuk tiap bangunan dan tidak bisa general di ambil 2/3. Nilai 2/3 ini diambil dari konsensus di Negeri Paham Trump untuk men-simplifikasi masalah saat kita – kita desain bangunan. Nilainya di proposed dari Profesor – Profesor sana yang sudah sering analisis nonlinear buat penelitiannya, dan didapatlah angka di kisaran 2/3.

Kalau rekan – rekan sekalian tidak terima mau pakai faktor 2/3 tersebut, ya silakan monggo pakai cara seperti yang dilakukan si Parjo insinyur muda berbakat tersebut.

Nantinya saya rasa dengan mulai di adopsinya analisa Performance Based Design untuk desain praktis bangunan di kantor, mungkin lama – lama angka ini akan di revisi lagi.

Pada tulisan ini, penulis juga mau membantu orang – orang geologis gempa yang biasanya ditanyain pertanyaan soal ini, padahal anda tahu-kan jawabannya harusnya orang struktur yang paham.

———————– END ————————

Tambahan : By the way, IS Code (SNI-nya Syahrukh Khan) itu proposed faktor scale dari MCE ke DBE adalah 0.50 dan bukan 2/3 seperti di ASCE. Kata – katanya di Pasal Komentar C3.19 IS 1893 (EQ05) code adalah sebagai berikut :

“IS 1893 zone map is not probabilistic and the accelaration values for MCE and DBE do not correspond to any specific probability of occurance. As an empirical approach design basis earthquake motion has been assumed as one half of maximum considered earthquake.”

Lalu bagaimana Indonesia di next SNI ?

Tambahan lagi : Nilai faktor ini juga sangat pengaruh terhadap ground motion gempa di lokasi bangunan yang ditinjau. Jika percepatan gempanya rendah, maka bisa jadi yang govern gaya lateral lainnya (misalnya angin). Sehingga jika bangunan di cek pada kondisi gempa MCE level, maka DBE level perlu di scale dengan angka yang jauh lebih tinggi (bisa 2x atau lebih) karena strength pada bangunan demand-nya saat desain didominasi oleh beban bukan gempa desain.

4 thoughts on “Dari Manakah Angka Sakti 2/3 dari MCE ke DBE ?

    Pemula said:
    06/09/2020 at 1:27 PM

    Mas ryan saya ingin bertanyaa, apakah mas ryan punya bahan yang recommended untuk mempelajari pusover analysis maupun time history ya ?:), juga saya ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan, bila ada kolom yang sedikit offset dan tidak di as, (jadi lantai 1 misal di as, eh lantai 2 dia agak sedikit offset misal hanya 250 mm) apakah di pemodelan kita lebih baik tetap menganggapnya berada di as? atau dimodelkan offset? jika di modelkan offset apakah dengan menggunakan rigid link adalah cara yang tepat? terimakasih 🙂

    Like

      Ryan Rakhmat Setiadi responded:
      06/09/2020 at 7:42 PM

      Kalau saya paling hanya baca ATC 72-1 dan FEMA P-2006 yang example ASCE 41-13, buat referensi analisa nonlinear, selain code yang berlaku pastinya. Kalau offsetnya hanya sedikit, dan most area kolom di atas masih dalam area kolom di bawah, lebih baik eksentrisitasnya dimodelkan sebagai point bending momen tambahan di joint. Jadi ada tambahan momen di joint sebesar Pu x Excentricity, dimana Pu nya dari gaya tekan kolom yang terbesar dari kombinasi 1.32DL + 0,5 LL + aksial gempa atau 1.20DL + 1.6 LL. Sehingga kolom bisa dimodelkan concentris (lurus kagak offset). Ini akan jauh lebih mudah dibandingkan menggunakan rigid link. Jadi anda bisa fokus ke hal lain-nya jika mau analisa Nonlinear. Intinya di buat semudah mungkin hal-hal yang sudah susah 🙂

      Like

        Pemula said:
        06/10/2020 at 12:04 AM

        Terimakasik banyak kak atas jawabannya..semoga suatu saat nanti saya ilmunya bisa sampai ke level kak Ryan 😀

        Like

    Montazeri said:
    08/26/2021 at 3:53 PM

    menarik mas, sama seperti presentasi dari USGS mengenai Ground Motions for Design.

    Like

Leave a comment